Siapa sangka, Desa Ekowisata Nglanggeran yang beberapa kali viral karena keindahan alam dan budayanya, dulunya adalah lahan kering. Kini, desa ini telah meraih berbagai penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional, berkat upaya transformasi yang luar biasa. Prestasi-prestasi tersebut merupakan hasil dari peran besar salah satu perintis Desa Wisata Nglanggeran, Sugeng Handoko, yang sempat membagikan kisah inspiratifnya di Kelas Ekowisata pada Selasa, 29 Oktober 2024 lalu.
Sugeng Handoko mengembangkan Desa Wisata Nglanggeran sejak masih berada di bangku perkuliahan. “Dahulu, konotasi negatif sangat kuat, KKN pada tidak mau di Gunungkidul karena kering, miskin, nggak ada air, ratau adus” ungkapnya senada bercanda ketika menggambarkan daerah tersebut 15-20 tahun lalu. Kini, Nglanggeran yang sekarang mengusung pemerekan (branding) Gunung Api Purba Nglanggeran ini telah memiliki prestasi yang luar biasa, di antaranya:
- CBT ASEAN (2017)
- Indonesia Sustainable Tourism Award (2018)
- 100 Top Green Destination (2018)
- ADWI, Desa Wisata Inspiratif (2021)
- UNWTO Best Tourism Village (2021)
Konotasi negatif tentang lahan yang kering, miskin, dan sulit air tersebut justru menjadi inspirasi bagi Sugeng untuk mengembangkan ekowisata di Desa Wisata Nglanggeran. Namun, upaya tersebut tidak berlangsung singkat karena banyak tantangan yang dihadapi, salah satunya ialah kurangnya kesadaran masyarakat akan potensi pariwisata yang ada di daerah tersebut. Untuk membagkitkan kesadaran tersebut, Ia mengawalinya dari kegiatan para pemuda dan karang taruna, hingga kini berkembang menjadi pengelola desa wisata.
Selain itu, meski tidak berasal dari latar belakang pendidikan pariwisata, Sugeng dengan gigih memahami konsep ekowisata dan mempelajari prinsip-prinsipnya dengan baik. Kini, manfaat dari keberhasilannya dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip ekowisata tersebut dapat dirasakan oleh berbagai pihak terutama masyarakat lokal. Hal tersebut dapat diraih karena pengelolaan Desa Wisata Nglanggeran berupaya semaksimal mungkin melibatkan kelompok-kelompok masyarakat lokal. Terdapat 13 kelompok masyarakat yang diintegrasikan dan diberdayakan dalam sistem pengelolaan Desa Wisata Nglanggeran.
Seiring berjalannya waktu, daerah sekitar Desa Wisata Nglanggeran mulai berkembang pesat berkat peningkatan ekonomi yang didorong oleh sektor pariwisata. “Namun, sampai saat ini tidak mengubah pekerjaan utama, pariwisata menjadi tambahan,” tegas Sugeng. Di samping itu, Ia juga mengungkapkan bahwa petani dulu malu akan pekerjaannya, namun akibat adanya pariwisata kini justru menjadi bentuk apresiasi kepada mereka.
Peningkatan ekonomi tersebut tentu saja diiringi dengan meningkatnya jumlah wisatawan Desa Wisata Nglanggeran. “Pariwisata pernah membuat kami kurang bahagia,” ungkap Sugeng. Pada tahun 2014, jumlah wisatawan mencapai 325 ribu orang dengan pendapatan mencapai 1,4 miliar. Tetapi, banyaknya wisatawan tersebut turut memberikan dampak negatif bagi desa wisata seperti meningkatnya jumlah sawa, vandalisme, polusi suara, hingga masyarakat yang menjadi enggan untuk bertemu masyarakat.
Hal tersebut kemudian dievaluasi hingga akhirnya pada tahun 2015-2019 pengelola berusaha menurunkan jumlah wisatawan hingga sepertiganya. Akhirnya, masyarakat kembali menjadi lebih nyaman dengan aktivitas pariwisata. Menariknya, tidak serta merta membatasi pengunjung, Sugeng bersama para pengelola menggunakan strategi yang cemerlang. Mereka sebenarnya berupaya memilih jenis wisatawan menjadi mereka yang benar-benar peduli akan kelestarian lingkungan. Akhirnya, meski jumlah wisatawan berkurang, omset yang didapat justru meningkat kurang lebih tiga kali lipat hingga sekitar tiga miliar rupiah dari sekitar 100 ribu wisatawan. Sugeng menekankan pengembangan pariwisata tidak selalu jumlah kunjungan wisata, tetapi seberapa besar manfaat dan kebahagiaan yang didapat.
Sesuai memaparkan materinya dan dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab, Sugeng membuat suasana kelas menjadi lebih meriah dengan memberikan produk lokal berupa olahan coklat bagi para mahasiswa yang aktif bertanya.
Pelaksanaan kelas yang diisi oleh para praktisi ini bertujuan untuk memberikan gambaran nyata tentang kondisi di lapangan dan masyarakat, serta strategi-strategi yang harus diterapkan untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Selain itu, kelas ini juga memberikan motivasi bagi mahasiswa untuk berkontribusi dalam mengembangkan potensi wisata demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam serta budaya Indonesia. Hal ini pun merupakan bagian dari upaya pencapaian SDG ke-4 (pendidikan berkualitas) di Prodi Pariwisata FIB UGM.