Bulaksumur, Kamis 16 Mei 2024. Program Studi (Prodi) Pariwisata bekerja sama dengan Fulbright Scholarship mengadakan kuliah umum. Kuliah umum ini diisi oleh Prof. Dr. Kathleen Adams, Ph.D. dari Loyola University, Chicago dan dimoderatori oleh Tular Sudarmadi. M.A. Bertempat di Auditorium Soegondo, kuliah umum ini membahas tentang manajemen warisan budaya. Secara spesifik kuliah umum ini membahas tentang isu konflik repatriasi atau pengembalian benda warisan budaya antara museum dan komunitas, serta tantangan dan peluang untuk menyelesaikan konflik tersebut. Kuliah umum ini juga merupakan wujud dukungan dan kolaborasi antara akademisi lintas negara dan keilmuan. Khususnya dalam mewujudkan iklim kajian studi pariwisata yang interdisipliner dan berperspektif kritis.
Kathleen mengawali kuliah umum dengan mengklasifikasikan objek warisan budaya menjadi dua kategori. Kategori tersebut meliputi: movable heritage atau benda warisan budaya yang dapat bergerak dan immovable heritage atau benda warisan budaya yang tidak dapat bergerak. Lebih lanjut dalam pemaparannya akibat adanya kolonialime benda warisan budaya yang bersifat immovable seringkali dibawa ke negara induk dari negara jajahannya. Akibatnya menurut Kathleen hingga hari ini benda warisan budaya tersebut masih tertahan di negara penjajah seperti Belanda, Inggris, dan Belgia. Lebih lanjut dalam paparannya, hal ini menyebabkan komunitas yang menjadi masyarakat pendukungnya terpisah dari benda yang secara historis menjadi bagian dari identitas mereka. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya repatriasi benda warisan budaya ke negara atau komunitas asalnya.
Lebih lanjut menurut Kathleen, masalah yang muncul di negara-negara yang baru merdeka tersebut adalah terkait dengan authorized herritage discourse. Ia menjelaskan bahwa yang mampu dan memahami terkait benda-benda warisan budaya adalah negara atau ahli warisan budaya. Masalahnya, menurut Kathleen orang-orang tersebut tidak semuanya memahami bahwa benda-benda tersebut sejatinya masih memilki ikatan dengan komunitasnya. Oleh karena itu sejatinya menurut Kathleen proses repatriasi merupakan proses yang rumit terutama jika berbicara mengenai hak atas kepemilikan benda-benda tersebut. Ia mencontohkan kasus terkait Bendera Suku Batak, secara ideal menurutnya ada 3 pilhan yang dapat dilakukan. Pertama dikembalikan ke museum nasional, kedua dikembalikan ke museum daerah, dan ketiga dikembalikan ke keluarganya.
Senada dengan Kathleen, Tular juga sepakat bahwa berbanding terbalik dengan apa yang sudah dipejari saat ini. Menurutnya jika berbicara mengenai kepemilikan benda-benda warisan budaya kita tidak bisa serta merta menggunakan logika konservasi saja. Lebih lanjut, Tular menekankan bahwa ada aspek-aspek lain yang perlu diperhatikan seperti politik, identitas, dan nasionalisme. Terlebih lagi menurutnya sistem museum di Indonesia juga menganut mazhab barat yang memisahkan benda warisan budaya dengan komunitasnya. Padahal, menurutnya dalam konsep orang Indonesia, setiap benda warisan budaya itu memiliki jiwa seperti nenek moyang. Oleh karena itu, Ia memilih untuk bersifat relatif bahwa tidak semua benda harus dikonservasi.
Kegiatan ini merupakan wujud dukungan konkret terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Kolaborasi ini secara khusus membantu mencapai tujuan ke-4 (Pendidikan Berkualitas) dengan menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata, serta merangsang semangat belajar sepanjang hayat. Kolaborasi ini juga turut membantu mencapai tujuan ke-17 (Kemitraan untuk mencapai tujuan) guna meningkatkan kerjasama pemerintah-swasta dan masyarakat sipil secara efektif, berdasarkan pengalaman dan bersumber pada strategi kerja sama.