Ketika pariwisata mulai bermunculan sebagai destinasi wisata baru, isu yang tampak sederhana ini sebenarnya menyimpan dimensi politik yang jauh lebih rumit. Penetapan sebagai “objek wisata” bukan sekadar pilihan ekonomi, tetapi keputusan politik yang membawa implikasi serius. Pertanyaan kritis pun muncul: siapa yang menentukan bahwa sebuah tempat layak dijadikan destinasi? Dan siapa yang diuntungkan dari keputusan tersebut?
Pembangunan pariwisata seringkali dibungkus narasi kesejahteraan, namun di lapangan terlihat bahwa tekanan ekologis meningkat, kebutuhan infrastruktur membengkak, dan warga didorong untuk menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi baru yang belum tentu mereka inginkan. Inilah tanda bahwa pariwisata bukan hanya aktivitas rekreasi ia adalah instrumen kebijakan yang mengatur bagaimana ruang hidup masyarakat lokal harus bertransformasi.
Di balik program-program penelitian dan pendampingan, tersimpan logika politik yang lebih besar. Ada anggapan bahwa penelitian kerap digunakan sebagai alat legitimasi, bukan sebagai sarana mencari solusi. Akar dari persoalan ini berkaitan dengan bagaimana kapitalisme dikelola secara terpusat oleh elite dan negara. Desa dan masyarakat lokal ditempatkan sebagai penerima intervensi, bukan penentu arah. Marginalisasi terjadi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena struktur kekuasaan yang telah mengakar.
Dalam berbagai proyek pembangunan, masyarakat diminta mengikuti protokol dan skema yang sudah disusun dari atas. Mereka dimasukkan ke dalam kerangka kepentingan besar yang jor-joran, sering kali tanpa ruang negosiasi. Di sini muncul pertanyaan paling politis: siapa yang sebenarnya merepresentasikan kepentingan masyarakat? Ketika kebijakan dibuat, kepentingan siapa yang paling kuat bersuara?
Konsep tourist gaze menambah lapisan politik baru. Destinasi diperlakukan sebagai objek yang harus “didandani” mengikuti selera wisatawan yang tentu saja dibentuk oleh industri dan pasar. Intervensi ruang desa akhirnya berorientasi pada konsumsi, bukan keberlanjutan hidup warganya. Bahkan asumsi keliru bahwa wilayah seperti Yogyakarta “miskin” atau “kurang berdaya” sering dipakai sebagai justifikasi intervensi, padahal masyarakatnya memiliki struktur ekonomi mandiri yang kuat.
Regulasi pemerintah pun dinilai tidak netral secara politik. Banyak aturan dibuat dengan memprioritaskan investor atau kepentingan ekonomi skala besar, ketimbang perlindungan warga. CSR yang seharusnya menjadi jembatan kesejahteraan justru sering jatuh pada formalitas yang dangkal. Kritik pun muncul: surga pariwisata ini dibangun untuk siapa? Apakah benar untuk masyarakat, atau untuk aktor-aktor ekonomi yang bermain di balik layar?
Politik modal juga sangat berpengaruh. Bukan hanya modal finansial yang menentukan arah pembangunan pariwisata, tetapi modal sosial, jaringan elite, dan modal simbolik seperti citra budaya. Semua modal ini diperebutkan dalam arena politik pariwisata, menjadikan destinasi bukan sekadar ruang geografis, tetapi arena tarik-menarik kepentingan. Pertanyaan keadilan menjadi semakin relevan: bagaimana posisi masyarakat lokal, terutama warga Jogja, di tengah arus modal dan kekuasaan yang begitu kuat?
Akhirnya, pariwisata perlu dipahami sebagai arena politik itu sendiri. Ia bukan ruang netral; ia membentuk dan dibentuk oleh kepentingan ekonomi, regulasi negara, serta relasi kuasa antar aktor. Idealnya, pariwisata harus menjadi alat untuk memastikan keadilan dan arah pembangunan yang inklusif bukan sekadar keuntungan sepihak.
Karena itu, penting untuk menjaga sikap kritis terhadap proyek-proyek pariwisata. Perjalanan bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga cara memahami bagaimana kekuasaan bekerja, bagaimana kebijakan dibentuk, dan bagaimana masyarakat dinegosiasikan dalam dinamika tersebut. Dengan membaca pariwisata sebagai ruang politik, kita bisa melihat lebih jelas siapa yang memegang kendali, siapa yang disisihkan, dan bagaimana seharusnya masa depan pariwisata dibangun.