Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada terus memperkuat peran akademisi Indonesia dalam mendorong praktik repatriasi cagar budaya yang lebih adil dan inklusif. Dr. Rucitarahma Ristiawan (Dosen Prodi S1 Pariwisata FIB UGM) dan Dr. Tular Sudarmadi (Dosen Departemen Arkeologi UGM dan Prodi S1 Pariwisata UGM telah turut berpartisipasi aktif dalam rangkaian workshop dan kuliah umum yang bertajuk “Epistemic Injustice in Indonesian Heritage Policy and Practice”. Kegiatan ini dihadiri oleh University of Glasgow, Hunterian Museum Glasgow, National Museum of Scotland, dan Scottish Centre for Crime and Justice. Agenda tersebut dilaksanakan di University of Glasgow, Hunterian Museum Glasgow, dan National Museum of Scotland di Edinburgh, pada 9 Mei – 17 Mei 2025.
Dr. Tular Sudarmadi dan Dr. Rucitarahma Ristiawan berkolaborasi bersama Hunterian Museum dan National Museum of Scotland dalam sebuah workshop yang membahas isu-isu terkait repatriasi cagar budaya.
Kegiatan ini merupakan bagian dari proyek eksploratif yang bertujuan memetakan pandangan para pemangku kepentingan formal di Indonesia, seperti pejabat pemerintah dan perwakilan museum, terkait perlindungan dan kepemilikan cagar budaya. Dr. Tular dan Dr. Rucitarahma berpandangan bahwa selama ini, proses perlindungan dan repatriasi warisan budaya di Indonesia masih didominasi oleh pendekatan top-down dan merupakan inisiasi antar negara ke negara (state-to-state) yang dipimpin langsung oleh pemerintah, tanpa melibatkan atau memprioritaskan suara dari masyarakat asal (communities of origin) yang memiliki hubungan langsung dengan warisan tersebut.
Hasil pemetaan ini nantinya akan dibandingkan dengan perspektif masyarakat asal yang telah dikumpulkan melalui program Global Knowledge Exchange Fund (GKEF) 2023-2024. Perbandingan ini diharapkan menjadi landasan untuk pengajuan pendanaan riset lanjutan yang akan merancang model kebijakan cagar budaya di Indonesia dengan pendekatan keadilan yang lebih partisipatif dan berbasis komunitas. Fokus utamanya tidak hanya sebatas pemulangan benda fisik, tetapi juga pemulihan identitas dan pengetahuan budaya yang melekat pada komunitas pemilik warisan tersebut.
Agenda tersebut sejalan dengan tujuan SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat, yang mendorong tata kelola warisan budaya yang lebih adil dan inklusif, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan: melalui penguatan kolaborasi antara institusi pendidikan, museum, dan komunitas.
Sebagai bagian dari rangkaian acara, Dr. Tular dan Dr. Rucitarahma, turut memberikan kuliah umum bertajuk “Epistemic Injustice in Indonesian Heritage Policy and Practice”. Dalam kuliah umum tersebut, Dr. Rucitarahma memaparkan tentang warisan budaya dan kunjungan pariwisata sebagai perjumpaan lintas spesies (multispecies encounters), dengan menyoroti keterhubungan antara manusia, leluhur, fosil, lanskap, dan makhluk non-manusia di dua situs warisan Indonesia: Sangiran dan Liang Bua. Sementara itu, Dr. Tular Sudarmadi membahas bagaimana warisan kolonial Belanda mempengaruhi proses repatriasi cagar budaya Indonesia, serta tantangan yang ditimbulkannya dan langkah yang perlu diambil pemerintah agar benda-benda budaya tersebut dapat kembali kepada pemilik yang sah.

Kegiatan ini berkontribusi dalam mendukung SDG 4: Pendidikan Berkualitas, dengan membuka ruang dialog kritis dan mendorong pertukaran pengetahuan lintas budaya sebagai bagian dari pembelajaran global yang inklusif.