Dalam konteks pariwisata Indonesia yang terus berkembang, dinamika gender menjadi faktor krusial yang mempengaruhi arah dan keberlanjutan industri ini. Ketidaksetaraan gender masih menjadi tantangan besar, yang kerap kali menghalangi perempuan untuk berkontribusi secara leluasa tanpa diskriminasi. Hal ini diungkapkan Anindwitya Rizqi Monica, S.Par., M.Si., Co-Founder & Strategic Director Women in Tourism Indonesia (WTID), sebuah lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang advokasi kesetaraan gender di bidang pariwisata. Dengan wawasan yang mendalam, Monica, demikian ia biasa dipanggil, mengajak kita untuk menjelajahi bagaimana upaya kolektif dalam pemberdayaan perempuan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, sekaligus mendorong kesetaraan gender di seluruh aspek industri pariwisata Indonesia.
Monica yang saat ini menjadi dosen praktisi untuk mata kuliah Pariwisata dan Gender di Prodi Pariwisata UGM sejalan dengan pandangan Dr. Wiwik Sushartami, M.A. (dosen Prodi Pariwisata) bahwa dinamika dalam pariwisata dan gender ini mayoritas didasari kaitan antara host dengan wisatawan. Monica menambahkan bahwa key performance indicator (KPI) dalam dunia pariwisata adalah kepuasan pelanggan (customer satisfaction), tentang bagaimana para pelaku wisata tersebut memuaskan para wisatawan. Dalam praktiknya, permasalahan gender bukan lagi datang dari ketimpangan antara jumlah laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan pariwisata, tetapi sejauh mana peran suatu gender tersebut untuk dapat terlibat dan memiliki hak yang sesuai.
“Kuota yang kita lihat di pariwisata itu sepertinya menyenangkan, ya. Kita berbicara 55% pekerja pariwisata itu adalah perempuan. Namun, apakah kita cukup senang sampai situ? Ketika ternyata masih banyak gender imbalance yang lain?,” ungkap Monica menyoroti dinamika gender di industri pariwisata. Selain permasalahan hubungan antara host dan wisatawan serta kepuasan pelanggan, Monica juga menekankan bahwa dinamika gender dalam pariwisata dipengaruhi oleh relasi kekuasaan dan pandangan masyarakat yang seringkali menjadikan perempuan hanya sebagai objek.
Lebih dalam tentang ketidaksetaraan gender (gender inequality), Monica melihat bahwa sistem yang cenderung patriarkis menjadi alasan awal munculnya fenomena tersebut. Monic menambahkan, dalam dunia pariwisata, kepuasan pelanggan turut menormalisasi persoalan tersebut yang pada akhirnya menjadi bias dalam praktik kepariwisataan. Contohnya, ada pembagian peran yang menempatkan penampilan sebagai standar yang bias, di mana perempuan yang dianggap cantik seringkali diharapkan untuk menjadi penerima tamu (among tamu). Pandangan semacam ini tidak hanya memperkuat stereotipe perempuan berdasarkan penampilan fisik semata, tetapi juga mengabaikan kompetensi dan kontribusi perempuan dalam industri pariwisata. Terlebih lagi bahwa pemikiran seperti itu sudah terpatri ke dalam pola pikir masyarakat kita.
Dalam mengarusutamakan gender, Monica mengatakan tentang urgensi dimulainya peningkatan kesadaran (awareness) yang dapat dicapai melalui edukasi dan pelatihan. Secara lebih mendalam, penelitian yang berkualitas dapat menjadi dasar pertimbangan dalam perumusan kebijakan yang relevan. Kebijakan-kebijakan ini kemudian dapat diterjemahkan menjadi program-program yang lebih tepat sasaran dan efektif. Dalam konteks ini, peran pemerintah dalam merumuskan kebijakan sangat krusial, sementara organisasi non-pemerintah (NGO) dapat berfungsi sebagai eksekutor (enabler) untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut, memastikan bahwa upaya pengarusutamaan gender dapat berjalan dengan optimal. Untuk mencapai tujuan optimal sebagai enabler, perlu adanya kesepahaman akan tujuan bersama dari berbagai pihak berkepentingan.
Monica memberikan catatan khusus ketika terjun ke masyarakat untuk membangkitkan kesadaran gender tersebut. Dalam mengubah pola pikir (mindset) terkait gender di masyarakat seperti di desa wisata, perlu dilakukan secara bertahap. Pendekatan harus dilakukan dalam kelompok kecil atau dari pintu ke pintu (door to door). Hal tersebut juga harus diperkuat oleh kebijakan yang tertulis, misalnya dalam AD/ART tentang peran perempuan dalam pengelolaan pariwisata. Monica lebih jauh menegaskan perlunya penegakan oleh pemerintah terkait hal tersebut.
Monica optimis dengan peran generasi muda, khususnya generasi Z dan milenial, dalam menggerakkan pengarusutamaan gender di industri pariwisata. Menurutnya, pemahaman mereka tentang kesetaraan gender dapat menjadi game changer yang mendorong perubahan signifikan. Sebagai dosen praktisi di Prodi Pariwisata, Monica juga melihat bahwa para mahasiswanya telah memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai kesetaraan gender, termasuk kemampuan untuk menangkap isu-isu terkini dan menentukan hal-hal yang perlu diperjuangkan atau diluruskan dengan terlibat langsung ke dalam masyarakat.
Keyakinan Monica terhadap anak muda tersebut menjadi salah satu sasaran organisasi yang ia rintis, yang telah berdiri lebih dari lima tahun untuk menciptakan pariwisata yang lebih inklusif dengan mempromosikan kesetaraan gender sesuai SDG 5 (kesetaraan gender). Women in Tourism Indonesia (WTID) memiliki visi dan misi yang salah satu tujuannya adalah dapat menciptakan anak-anak muda yang empowered untuk menjadi gender equality heroes. Kemudian untuk mencapai SDG 4 (pendidikan berkualitas), WTID juga banyak berkolaborasi dengan berbagai organisasi, korporasi, hingga instansi seperti Prodi Pariwisata UGM. Tidak hanya memberikan edukasi di kelas, WTID juga membuka kesempatan magang bagi para mahasiswa untuk dapat berkontribusi secara langsung dalam pemberdayaan perempuan (women empowerment).
Informasi WTID lebih lanjut: womenintourismindonesia.org
[Sumber foto: Akun Instagram @moonicss]