Pariwisata olahraga (sport tourism) kini tengah menjadi tren di Yogyakarta, menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Kota yang dikenal akan kekayaan budaya dan sejarah ini kini juga semakin dikenal sebagai destinasi sport tourism.
Bahkan, sepanjang bulan Oktober 2024, hampir setiap minggu diselenggarakan perhelatan olahraga lari yang diikuti oleh ratusan peserta seperti UGM Trail Run 2024 (6/10), Road To Give 2024 (13/10), Pink Ribbon Run 2024 by Hyatt (20/10), dan Kahf Manna Kampus Jogja Run 2024 (20/10), untuk menyebut beberapa contoh.
Dosen program Studi Pariwisata FIB UGM, Mohamad Rachmadian Narotama, S.T., M.Sc., Ph.D., mengemukakan secara teoritis, sport tourism beririsan dengan perhelatan pariwisata (event tourism), di mana kegiatan wisata terjadi karena adanya sebuah event yang menarik wisatawan. Ia juga menjelaskan bahwa menurut KONI, olahraga merupakan kegiatan yang di dalamnya terdapat aktivitas fisik yang bukan hanya bermanfaat bagi kebugaran dan kesehatan jasmani, tetapi juga rohani.
Terkait dengan perhelatan sport tourism, Narotama menambahkan pada dasarnya, terdapat dua bentuk sport tourism, yaitu yang bentuknya partisipatif seperti maraton dan bersepeda, juga yang berbasis penggemar (fans) seperti pertandingan sepak bola.
Berkaitan dengan kesiapan Yogyakarta sebagai destinasi sport tourism, Narotama menilai bahwa beberapa event telah diadakan di lokasi-lokasi yang menarik, meskipun masih ada beberapa yang memerlukan perhatian khusus. Sebagai contoh, event seperti Sleman Temple Run (8/9) dan Biosferun 2024 (13/10) diselenggarakan di tempat-tempat yang sangat menarik, karena melibatkan lintasan yang melewati alam dan cagar budaya, memberikan pengalaman unik bagi peserta. Namun, event lari yang dilaksanakan di jalur kota dan jalan raya memerlukan persiapan yang lebih matang dalam hal manajemen seperti rekayasa lalu lintas dan kesediaan shuttle/feeder, polusi udara juga menjadi catatan penting. Kesiapan dalam mengelola aspek ini sangat krusial agar pengalaman peserta tetap optimal dan tidak terganggu.
Selain event lari yang dianggap memiliki pasar kelas menengah ke atas, Narotama juga menyoroti event sepak bola yang menarik sebagian pendukung dari kelas menengah ke bawah dan terkadang merupakan pendukung fanatik. Penonton dalam event seperti ini memerlukan pengawalan yang lebih ketat, karena sudah berulang kali terjadi kerusuhan dan bentrok antar pendukung.
Narotama mengakui bahwa tren sport tourism di Yogyakarta membawa berbagai manfaat, baik bagi kota Yogyakarta itu sendiri maupun bagi masyarakat setempat. Selain meningkatkan daya tarik wisata, perhelatan sport tourism juga berkontribusi pada perputaran ekonomi. Namun, Narotama menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memahami sejauh mana dampaknya bagi masyarakat lokal, seperti apakah mereka menggunakan event organizer (EO) atau hotel lokal, serta persentase keuntungan yang didapat EO (yang bisa berasal dari luar daerah) dibandingkan uang yang diterima vendor dan masyarakat lokal. Narotama menyarankan perlunya intervensi pemerintah untuk mendorong penggunaan barang dan jasa lokal. Selain itu, Narotama berharap agar perhelatan sport tourism dipromosikan dengan pendekatan yang berkelanjutan untuk mendorong penggunaan transportasi publik. Langkah ini akan mendukung pencapaian SDG ke-11 (kota dan komunitas yang berkelanjutan) melalui upaya pengurangan polusi udara, serta SDG ke-17 (kemitraan untuk mencapai tujuan bersama) dengan mengedepankan kolaborasi antara penyelenggara, instansi, dan masyarakat lokal.
Terkait fenomena sport tourism di Yogyakarta secara umum, Narotama menegaskan pentingnya mempertahankan dan meningkatkan aspek positif yang ada, sementara yang kurang baik perlu diantisipasi dan dibawa ke standar yang diharapkan terkait ketertiban, kebersihan, dan kebermanfaatan bagi kota yang menjadi host. Sport tourism perlu dikembangkan dengan memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan resiko dan dampak negatif.
Untuk suporter sepak bola, pengelolaan yang tepat harus diterapkan agar mengurangi kemungkinan terjadi kerusuhan. Narotama mengusulkan salah satu pendekatan dengan mengubah persepsi tentang cara mendukung tim sepakbola. Contohnya dengan membuat tren family friendly supporter dan memfasilitasi pendukung dari kelas menengah ke atas dengan ruang VIP dan tur stadion yang dilengkapi dengan merchandise eksklusif. Dengan diversifikasi pendukung, bersamaan dengan edukasi cara mendukung tim secara tertib dan tetap menyenangkan, diharapkan suasana event sepak bola tidak lagi terkesan rusuh, tapi lebih tertib, aman, dan nyaman. Suasana Piala dunia di Qatar dapat dilihat sebagai contoh yang baik.
[Foto: Malioboro Run]